Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mengkaji kenaikan tarif parkir di kawasan Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan M.H. Thamrin. Rencananya, penyesuaian dengan menaikkan tarif parkir akan dilakukan tahun depan.
Awal Desember 2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan, kebijakan ini dilakukan untuk mengurai kemacetan. Lalu, warga digiring untuk beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi umum.
Terlebih, jika tak ada aral, pada 2019 sistem transportasi transit cepat menggunakan kereta rel listrik (mass rapid transit/MRT) sudah akan beroperasi. Selain itu, sistem jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP) juga akan diberlakukan di ruas jalan tersebut.
“Harapannya, akan lebih banyak yang masuk ke area itu (Jalan Jenderal Sudirman-Jalan M.H. Thamrin) dengan kendaraan umum atau pejalan kaki,” kata Anies di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, awal bulan ini.
Berkenaan dengan apa yang disampaikan Anies, Pemprov DKI Jakarta tahun ini mengusulkan kembali revisi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Parkir ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta.
Bila dilihat Pasal 7 di dalam Perda tersebut, ketentuan tarif pajak parkir ditetapkan sebesar 20%. Besaran ini masih di bawah pajak parkir yang ditetapkan kota penyangga Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, dan Depok yang sudah 25%.
Di dalam draf revisi Perda Nomor 16 Tahun 2010, Pemprov DKI Jakarta mengusulkan kenaikan pajak parkir sebesar 30%. Meski begitu, pelaksana tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko mengatakan, usulan itu masih dikaji jajarannya di Unit Pengelola Perparkiran.
Walau sudah masuk ke dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun 2019, perubahan Perda itu masih perlu pembahasan dengan tenggat waktu yang tak pasti.
“Artinya, belum ada perubahan tarif parkir di Januari 2019,” kata Sigit, ketika dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (19/12).
Pajak dan tarif parkir
Sementara itu, Ketua Komisi Keuangan DPRD DKI Jakarta Santoso yakin, wacana menaikkan tarif parkir di ibu kota tak akan berhasil mendorong pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan transportasi umum.
Politikus Partai Demokrat itu mengingatkan Pemprov DKI Jakarta, bila saat ini masyarakat kelas menengah sedang tumbuh. Menggunakan kendaraan pribadi dalam strata sosial di kelas ini merupakan gengsi tersendiri.
“Jadi, tarif (parkir) berapa pun tidak akan berpengaruh, dan tetap akan digunakan kok kendaraannya,” kata Santoso kepada reporter Alinea.id, Rabu (19/12).
Dengan demikian, supaya tepat sasaran, anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta tersebut menyarankan revisi Perda Nomor 16 Tahun 2010 fokus pada kenaikan pajak parkir yang dibebankan kepada pengelola parkir swasta.
Menurut Santoso, Biro Perekonomian DKI Jakarta dalam draf revisi Perda tadi, telah mengusulkan kenaikan pajak parkir sebesar 30%. Bapemperda sendiri, kata Santoso, akan menyetujui hal itu. Tapi, tidak dengan kenaikan tarif parkir, seperti yang digaungkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“DPRD akan mengawasi agar tidak ada kenaikan tarif parkir, kalau pajaknya silakan,” ujar Santoso.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Indonesia Parking Association Wahyu Ramadhan menentang kebijakan yang diungkap Santoso. Menurutnya, sangat tak logis bila kenaikan pajak parkir tidak diikuti kenaikan tarif parkir.
Wahyu mengatakan, secara tak langsung, kebijakan parsial itu akan membunuh banyak pengelola parkir yang selama ini sudah dibebani kenaikan upah minimum provinsi (UMP), yang rutin mengalami kenaikan tiap tahun.
“Kita bisa babak belur. Memang yang ideal, kenaikan pajak parkir diimbangi dengan kenaikan tarif parkir,” katanya kepada reporter Alinea.id, Rabu (19/12).
Di samping itu, Wahyu pun mengingatkan, menaikan tarif parkir akan berpotensi membuat lahan parkir liar menjamur, jika pola penindakan Dinas Perhubungan masih sama seperti sekarang.
Wahyu memberi contoh, di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, persis di belakang pusat perbelanjaan Grand Indonesia dan Plaza Indonesia, masih terjadi pelanggaran ruang publik dan jalan yang terganggu parkir liar.
“Itu adalah imbas dari mahalnya parkir di Grand Indonesia dan Plaza Indonesia. Nah, itu tidak ditindak. Yang kami khawatirkan, tarif dinaikan ketika pengawasan lemah, maka akan timbul kasus Kebon Kacang lain,” katanya.
Parkir mahal, transportasi murah
Dihubungi secara terpisah, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno merespons positif wacana Pemprov DKI Jakarta menaikkan tarif parkir.
Menurut Djoko, rencana tersebut akan cukup efektif menekan kemacetan dan membuat para pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. Namun, kata dia, kebijakan itu juga harus dibarengi dengan tarif angkutan umum yang lebih terjangkau dari sebelumnya.
“Di luar negeri itu, parkirnya mahal, tapi transportasi umumnya murah. Makanya mereka banyak yang memakai transportasi umum,” kata Djoko, ketika dihubungi, Rabu (19/12).
Sedangkan di Jakarta dan beberapa kota lainnya, saat ini pengeluaran yang harus dirogoh masyarakat untuk menggunakan transportasi umum dapat mencapai 22%. Menurut Djoko, idealnya untuk kota seperti Jakarta, warga cukup mengeluarkan biaya 10% untuk naik transportasi umum. Pengeluaran itu dihitung dalam rentang satu bulan dari besaran penghasilannya.
“Di Eropa itu, gaji misalkan €1.600, pekerja di sana menghabiskan uang untuk transportasi sekitar €160 saja,” ujar Djoko.
Lebih lanjut, Djoko menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta bisa mengadopsi kebijakan transportasi di Beijing, China, yang menghapus lapangan parkir di pusat-pusat kota. Bahkan, tarif parkir bisa mencapai Rp100 ribu per jam.
Lantas, ketika seluruh peraturan itu dilakukan, kata Djoko, Pemprov DKI Jakarta tinggal memaksimalkan pelayanan angkutan umum, seperti keamanan, kenyamanan, dan ketepatan waktu.
Sumber : https://www.alinea.id/nasional/menimbang-rencana-kenaikan-tarif-parkir-di-jakarta-b1UBF9gf0