Nasib Pengelola Parkir, Dituntut Pelayanan Tinggi Tapi Terbentur Biaya

Posted on Posted in Uncategorized

Jakarta, IDN Times – Ketua Indonesia Parking Association Rio Octaviano mengeluhkan nasib pengelola parkir yang menurutnya terjebak antara pemerintah daerah (pemda) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Bisnis parkir, lanjut Rio, dinilai hanya sebagai pendapatan oleh pemda selama ini. Namun, Kemendag menuntut mereka memberikan layanan yang prima.

“Dalam arti kami di squeeze gimana pemda dapat pendapatan dari kita. Sedangkan dari sisi Kementerian Perdagangan kami harus menyediakan melakukan pelayanan konsumen yang prima, kami gak bisa ketemu di sini,” kata Rio di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (2/9) sore.

1. Keuntungan pengelola parkir hanya kurang lebih 5 persen dari keseluruhan pendapatan

100 Persen  pendapatan pengelola parkir awalnya muncul dari gross revenue yang dipotong pajak daerah. Besaran pajak daerah ini bergantung dari kebijakan pemda masing-masing dan muncul rate revenue. Pihak pengelola parkir lalu mengeluarkan biaya lagi seperti sumber daya manusia (SDM), operasional, dan amortisasi dan selanjutnya disebut nett profit.

“Ini memakan biaya besar. Cost terbesar ada di operasional, SDM dan amortisasi itu sampai 60-70 persen,” sebut Rio.

Tidak sampai di situ, pengelola parkir juga harus berbagi dengan landlord atau tuan tanah yang menyewakan lahan untuk parkir. “Jadi nett profit sharing kami harus dibagi lagi. Besaran untuk properti sampai 95 persen. Untuk pengusaha parkir dapt 5 persen,” ujar Rio.

2. Persaingan tidak sehat dan semakin rendahnya pendapatan pengelola parkir

Rio menceritakan, nilai pendapatan 5 persen itu masih bisa berkurang. Misalnya, dalam suatu tender, ada pengelola parkir yang bisa berbagi pendapatan dengan tuan tanah hingga 98-99 persen.

“Ketika terjadi seperti ini maka yang kuat perusahaan yang besar. Kalau seperti ini sehat gak bisnis parkir? Tidak. Tapi ini yang terjadi,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan pernah menyampaikan hal ini ke pengusha properti. Rio menyatakan besarnya pendapatan parkir untuk tuan tanah juga untuk menutup sejumlah kebutuhan.

“Pihak properti tidak menutup bahwa pendapatan parkir untuk menutupi, misal mereka punya basement atau lokasi parkir, itu hak nutup untuk listrik, hexosnya, untuk biaya maintenance,” kata Rio.

“Bicara masalah parkir adalah masalah multi kompleks,” imbuhnya.

3. Berapa persen angka ideal untuk pengelola parkir?

Dengan tuntutan untuk memberikan layanan yang prima, Rio menyebut idealnya pendapatan untuk pengelola parkir adalah 20-30 persen.

“Tapi sekarang persaingan bisnis yang terjadi tidak seperti itu, bisa 5 atau di bawah 5 persen. 20-30 persen realistis. Tapi kalau bicara sama manajemen gedung lain lagi. Mereka merasa landlord, bisa memberikan tarif parkir yang semau dia,” jelas Rio.

4. Menyiasati rendahnya pendapatan pengelola parkir

Pendapatan sebesar 20-30 persen itu digunakan untuk mengelola SDM dan teknologi demi memberikan layanan parkir yang baik. Kata Rio, dengan realita pendapatan hanya berkisar 5 persen, pengelola parkir harus mengakali biaya untuk SDM.

“Berarti biaya SDM punya unit cost. UMP pasti. Tapi ada unit cost seperti asuransi, gaji 13. Kadang take home pay tidak sesuai dan kita sesuaikan. Untuk SDM misalnya, kerja di perusahaan A, harusnya saya dapat gaji 4,5 juta tahu-tahu cuma dibayar 3 juta. ‘Karena saya gak ada kerjaan, butuh buat hidup akhirnya saya terima’,” papar Rio.

Rendahnya pendapatan itu juga berpengaruh pada kinerja petugas parkir. “Akhirnya (petugas parkir) kerjanya males-malesan. Itu lah antara biaya dan kualitas dari pelayanan sangat berbanding lurus,” kata Rio.

Sumber : https://www.idntimes.com/business/economy/helmi/nasib-pengelola-parkir-dituntut-pelayanan-tinggi-tapi-terbentur-biaya/full